Merebut Pasar BPR
oleh admin · Dipublikasikan · Di update
Author : Fatik Wijaya Galfari
Pertumbuhan penjualan kredit BPR mulai beranjak naik seiring dengan semakin membaiknya kondisi ekonomi makro saat ini. Hal ini dipacu semakin leluasanya mobilitas usaha disebabkan semakin menurunnya dampak Covid-19.
Pertumbuhan kredit BPR di tahun 2021 tercatat 6%. Pertumbuhan ini diperkirakan akan terus naik di tahun 2022 sejalan dengan mengeliatnya usaha UMKM yang berdampak pada meningkatnya kebutuhan modal usaha.
Meningkatnya pasar UMKM ini ternyata tidak semata bisa dinikmati oleh BPR. Banyak lembaga keuangan yang ikut merebut pasar BPR tersebut. Bukan saja lembaga koperasi yang dari awal memang turut merebut pasar BPR. Lebih dari itu, justru yang menjadi kekhawatiran terbesar bagi BPR adalah masuknya bank umum dan fintech.
Terutama bank umum plat merah dengan program KUR dari pemerintah. Sungguh tidak bisa membuat BPR bernafas lega. Dengan bunga pinjaman yang sangat rendah, gerak bank umum sulit bahkan tidak bisa diikuti oleh BPR. Praktis, BPR semakin terpuruk.
SEGMENTASI PASAR
Batasan pasar perbankan sudah tidak jelas lagi saat ini. Bank umum yang semestinya bermain di kelas UKM ke atas, justru turut merebut pasar micro milik BPR. Lalu apa makna pelabelan bank umum dan bank perkreditan rakyat?
Mestinya pelabelan itu berimplikasi pada segmentasi pasar. Jangan sampai pasar perbankan bagai rimba dan yang berlaku adalah hukum rimba. Siapa yang kuat dia yang menang.
Dalam hal ini tentu bank umum jauh lebih kuat dibanding BPR. Dari segi modal dan teknologi jelas tidak bakal bisa diikuti oleh BPR. Meskipun sudah ada kebijakan merger BPR, tetap saja tidak akan bisa menyaingi besarnya bank umum.
Dan yang lebih liar lagi adalah lembaga fintech. Sifatnya yang lincah-agile dan borderless, fintech bisa menembus pasar apapun, baik kelas atas maupun kelas bawah.
Di sinilah letak pentingnya kehadiran negara. Sebab negara bisa mengatur ini semua. Penegasan dalam bentuk perundangan dan pengawasan di pasar sangat bisa dimainkan oleh negara.
Bersama OJK, BI dan asosiasi perbankan yang ada mestinya bisa dicari kesepakatan bersama demi terjadinya sistem keuangan yang harmonis.
Kolaborasi dalam bentuk pembagian peran dan segmentasi pasar akan membuat semua level bank bisa hidup berdampingan secara damai.
Seperti halnya yang pernah dicita-citakan bersama. Bahwa pasar mikro adalah wilayah BPR. Sementara bank umum bisa memainkan perankan dengan linked program dengan BPR disamping memasarkan produknya pada pasar makro. Bank umum cukup menyediakan dana murah kepada BPR. Dan BPR yang menyalurkan ke pasar mikro.
Semisal program KUR. Andaikan dana itu disalurkan lewat BPR yang ada tentu akan membuat iklim BPR semakin hidup. Sementara pemerintah lewat bank plat merahnya cukup menyalurkan KUR itu ke BPR dan tidak harus menyentuh ke and user.
PELUANG DAN TANTANGAN
Sementara semua belum jelas dan pasar terus bergerak, maka BPR tidak boleh berdiam diri jika tidak mau mati.
Meskipun banyak keluhan dari industri BPR akan semakin tidak sehatnya pasar disebabkan masuknya bank umum dan fintech ke pasar mikro. Namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa selama ini hanya BPR yang paling jago bermain di pasar mikro.
Modal dan teknologi bukan segalanya. Justru kedekatan emosional yang terbangun baik selama ini antara nasabah dan BPR sebagai bukti bahwa industri BPR selalu bertahan dalam goncangan krisis apapun.
Keunggulan ini yang mestinya dijadikan strategi BPR untuk menjalankan bisnisnya. Teknologi memang mudahkan, namun tidak mendekatkan . Teknologi bagi BPR bukan utama, hanya sebagai sarana untuk semakin mendekatkan dengan customer.
BPR identik dengan rakyat. Maka bertumbuh sajalah bareng mereka dalam hubungan yang emosional. Termasuk bertumbuh bersama dalam mengikuti teknologi yang ada tanpa dipaksakan.
Itu artinya kekuatan BPR ada pada manusianya. Selama BPR tetap berfokus pada pengembangan manusia, maka tidak ada masalah dengan bisnisnya. Customer tetap lebih suka berhubungan dengan manusia dalam melakukan transaksi ketimbang dengan mesin. Ada kehangatan dan rasa senang di sana.
Dan investasi di SDM tidaklah semahal di teknologi. Maka ini yang harus dijadikan daya saing BPR. Bangun SDM yang handal, berempati, cerdas yang membuat nasabah loyal dengan BPR.
Ciptakan sistem pengembangan SDM yang berkesinambungan untuk membentuk insan BPR yang kompeten dan punya komitmen tinggi.
Dari situ, sampai kapanpun BPR akan tetap eksis.